Gunung Merapi
Unit Pengelola | : | Balai KSDA Yogyakarta | ||
Kepala Balai | : | Kuspriyadi Sulistyo | ||
Alamat | : | Jl. Gedongkuning 172 A, Yogyakarta 55171; telp/fax 0274-373324 Email: bksdayogya@yahoo.com | ||
SK / Legalitas Kawasan | : | Penunjukan dengan SK Menhut 134/Menhut-II/2004 tanggal 4 Mei 2004 | ||
Luas | : | 6.410 ha (1.283,99 ha di DIY dan 5.126,01 ha di Jateng) | ||
Tujuan Pengelolaan | : | Perlindungan sumber air, sungai dan penyangga sistem kehidupan kabupaten/kota Sleman, Yogyakarta, Klaten, Boyolali, dan Magelang | ||
Letak administrasi | : | · Kab Magelang, Boyolali dan Klaten Provinsi Jateng (3 kab di Jateng) · Kab Sleman, Provinsi DIY (1 kab di DIY) | ||
Letak Geografis | : | |||
Topografi | : | Topografi pada masing-masing kabupaten adalah: a. Kabupaten Klaten: · Bagian barat dan utara wilayah Kab. Klaten berupa lereng Gunung Merapi yang berbatasan dengan kab. Sleman. · Landai sampai berbukit dengan ketinggian 100 – 150 m dpl. · Merupakan daerah penghasil tembakau eksport b. Kabupaten Boyolali : · Berada diantara Gunung Merapi yang masih aktif dan Gunung Merbabu yang sudah tidak aktif, dengan ketinggian 75 – 1.500 m dpl. · Empat sungai melintas di wilayah ini (Serang, Cemoro, Pepe dan Gandul). Disamping itu ada sumber-sumber air lain berupa mata air dan waduk. c. Kabupaten Magelang: · Tiga kecamatan terpilih merupakan bagian lereng Gunung Merapi yang ke arah Barat, yang terletak pada ketinggian sekitar 500 m dpl, makin kea rah puncak Gunung Merapi kelerengan lahan semakin curam. d. Kabupaten Sleman: · Mulai landai hingga lahan yang memiliki kelerengan sangat curam dengan ketinggian 100 – 1.500 m dpl. · Dibagian paling utara merupakan lereng Gunung Merapi yang miring ke arah Selatan. Di lereng Selatan Gunung Merapi terdapat dua bukit yaitu Bukit Turgo dan Bukit Plawangan yang merupakan bagian kawasan wisata Kaliurang. Di Bagian lereng puncak Merapi ii reliefnya curam sampai sangat curam. Bagian selatan dari ketiga kecamatan terpilih masih berupa lahan persawahan dengan sistem teras yang cukup baik. seangkan bagian tengah berupa lahan kering dan paling utara merupakan bagian dari lereng gunung Merapi yang berupa hutan. | ||
Curah Hujan | : | · Kab Magelang: 2.252 – 3.627 mm / th · Kab Boyolali: 1.856 – 3.136 mm / th · Kab Klaten: 902 – 2.490 mm / th · Kab Sleman: 1.869,8 – 2.495 mm / th | ||
Jenis Tanah | : | Jenis tanah yang dapat dijumpai pada 10 kecamatan terpilih dari empat Kabupaten adalah: regosol, andosol, alluvial dan litosol. | ||
Ketinggian kawasan | : | Secara umum terletak pada ketinggian + 50 – 2500 m dpl | ||
Sejarah kawasan | : | · Merupakan kawasan lindung sejak tahun 1931 untuk perlindungan sumber air, sungai dan penyangga sistem kehidupan kabupaten/kota Sleman, Yogyakarta, Klaten, Boyolali, dan Magelang · Fungsi kawasan sebelum ditunjuk menjadi TNGM di wilayah DIY terdiri dari HL=1.041,38 ha; CA Plawangan Turgo = 146,16 ha; dan TWA Plawangan Turgo 96,45 ha · Fungsi kawasan sebelum ditunjuk menjadi TNGM di wilayah Jateng terdiri dari: HL seluas 5.126 ha |
Gunung Merapi (2914 meter) hingga saat ini masih dianggap sebagai gunung berapi aktif dan paling berbahaya di Indonesia, namun menawarkan panorama dan atraksi alam yang indah dan menakjubkan. Secara geografis terletak di perbatasan Kabupaten Sleman (DIY), Kabupaten Magelang (Jateng), Kabupaten Boyolali (Jateng) dan Kabupaten Klaten (Jateng). Berjarak 30 Km ke arah utara Kota Yogyakarta, 27 Km ke arah Timur dari Kota Magelang, 20 Km ke arah barat dari Kota Boyolali dan 25 Km ke arah utara dari Kota Klaten.
Menurut Atlas Tropische Van Nederland lembar 21 (1938) terletak pada posisi geografi 7 derajad 32.5' Lintang Selatan dan 110 derajad 26.5' Bujur Timur. Dengan ketinggian 2914 m diatas permukaan air laut. Berada pada titik persilangan sesar Transversal perbatasan DIY dan Jawa Tengah serta sesar Longitudinal lintas Jawa (lihat Triyoga Lucas Sasongko 1990, Manusia Jawa & Gunung Merapi Persepsi dan Sistem Kepercayaanya, Gadjahmada Univ. Press). Meletus lebih dari 37 kali, terbesar pada tahun 1972 yang menewaskan 3000 jiwa. Terakhir meletus pada Selasa Kliwon tanggal 22 November 1994, dengan korban tewas lebih dari 50 orang
AKTIFITAS GUNUNG MERAPI
Semburan Gunung Merapi diperkirakan belum akan berhenti. Berdasarkan hasil pantauan Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK) Yogyakarta menggunakan alat dan analisis visual, aktivitas Merapi masih tinggi.
"Kini Merapi berstatus 'awas' karena masih terjadi gempa dan awan panas," kata Kepala Seksi Gunung Merapi Sri Sumarti.
Balai pemantau gunung itu hingga kemarin masih terus mencatat gempa dan deformasi (penggembungan) tubuh dari lokasi-lokasi yang aman dari amukan wedhus gembel atau awan panas. Mereka juga melarang masyarakat mendekat ke area yang berjarak 10 kilometer dari puncak Merapi. Daerah tersebut ditetapkan sebagai area rawan bencana III. Yang masuk dalam daerah ini adalah hulu sungai di sekitar Merapi sektor selatan, tenggara, dan barat daya. Sungai-sungai yang dimaksudkan adalah Kali Boyong, Kuning, Gendol, Woro, Bebeng, Krasak, dan Bedog.
Menurut Sri Sumarti, bila aktivitas Merapi sudah menurun, statusnya akan diturunkan menjadi siaga atau turun lagi menjadi normal.
Letusan Merapi terjadi mulai 26 Oktober hingga 30 Oktober lalu. Sudah 11 juta meter kubik bahan vulkanik--pasir, batu, dan debu--dimuntahkan dari perut Merapi. Sebagian besar material gunung di perbatasan Jawa Tengah dengan Daerah Istimewa Yogyakarta itu mengarah ke Kali Gendol di Cangkringan, Sleman.
"(Material itu) masih akan bertambah jumlahnya karena terus terjadi luncuran awan panas dan material vulkanik," kata Kepala Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, R. Sukhyar, di Yogyakarta kemarin. Tapi ia meminta masyarakat tak khawatir. Kali Gendol, katanya, bisa menampung 18 juta meter kubik material. Kali Opak, yang dekat dengan Kali Gendol, punya daya tampung 8 juta meter kubik.
Guyuran abu vulkanik yang sampai ke Yogyakarta itu sempat membuat warganya cemas. Banyak orang khawatir kondisi udara Kota Gudeg itu bakal membahayakan. Orang pun berebut membeli masker sampai apotek-apotek di sana kekurangan pasokan.
Kecemasan itu ditepis Badan Lingkungan Hidup. Menurut badan ini, kualitas air dan udara Yogyakarta masih aman. Kepala Badan Lingkungan Suyana mengatakan, untuk kualitas air terbuka di alam, kandungan abu sulfatnya (SO2) sekitar 50 miligram per liter, dan air tertutup 30 miligram per liter. Padahal ambang batasnya 400 miligram per liter. "Jadi, masih aman," ucapnya.
Kualitas udara juga dicek di beberapa titik, seperti di Perempatan Pingit, Kelurahan Bener, Perempatan Wirobrajan, Kantor Pos Besar, Parkir Abu Bakar Ali, Pojok Beteng Kulon, dan Perempatan Tungkak. Hasilnya, kandungan sulfat tertinggi 0,12 ppm (satu per sejuta). Angka itu masih di bawah ambang batas 0,34 ppm.
Wali Kota Yogya Herry Zudianto kemarin mengedarkan surat jaminan bahwa Yogya layak wisata kepada seluruh biro perjalanan wisata di sana. Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, Surono, juga menegaskan bahwa daerah rawan bencana hanya pada radius 10 kilometer. Sedangkan jarak Yogyakarta dengan Merapi 30 kilometer.
JURU KUNCI MERAPI
Mbah Marijan
Selalu ada tawa di tempat ini. Mbah Marijan, tak pernah kelihatan bersedih atau murung. Jika sesekali batuknya menggusik, hanya sebentar. Kepada orang-orang yang bertamu padanya, suguhan yang paling menyenangkan, ya tawa Mbah Marijan yang tak pernah berhenti itu.
SAYA menarik nafas agak pajang. Sisa tawa Mbah Marijan masih terdengar. Di antara diam, saya mengambil kesempatan bicara. Ini agak serius. Soal Merapi. Karena itu saya harus berhati-hati. Saya tahu, Mbah Marijan tidak akan pernah bisa dipancing untuk bicara Merapi dengan sembarangan.
“Sederek sedoyo, meniko sasmito, bilih Mbah Marijan gemujeng lakak-lakak, meniko pratondo Mbah Merapi mboten nopo-nopo. Leres to mbah?” Suasana mendadak hening. Mbah Marijan menandangi saya. Seketika, ada rasa takut. Barangkali, tidak seharusnya saya berkata begitu.
“Merapi juga tertawa. Itu biasa. Tidak usah ditakutkan. Seperti kita ini saja, Merapi juga butuh tertawa. Dan, itu ora nggowo memolo.” Kaget, saya mendengar Mbah Marijan berkata begitu. Semua juga ikut takjub. Tidak pernah ada yang berani mengajaknya berbicara soal Merapi, tapi hari itu, ia bicara dengan gamblang bahwa Merapi tidak apa-apa.
Mendengar kalimat Mbah Marijan, saya teringat ucapan siapapun, orang-orang yang berurusan dengan Merapi. Para relawan, orang-orang di sekitar lereng Merapi, atau tamu-tamu yang datang ke rumah Mbah Marijan. Mereka tahu, tidak boleh ngomong sembarangan soal Merapi.
“Jangan nyebut-nyebut Wedhus Gembel atau gunung njebluk. Itu pantangan keras. Bahkan Mbah Marijan sendiri tidak pernah menyebut nama Merapi. Kepada gunung itu, dia memanggilnya Mbah Buyut.” Seorang relawan mewanti-wanti saya, jauh sebelum saya memutuskan naik ke Merapi.
Seorang kawan memberi penjelasan, yang mencoba agak rasional-riligius mengapa tidak boleh menyebut Wedhus Gembel di Merapi. “Jika semua orang mengatakan Wedhus Gembel, lama-lama itu akan menjadi doa dan spirit. Akhirnya, Merapi benar-benar akan mengeluarkan Wedhus Gembel. Itu yang harus kita hindari,” katanya, sungguh-sungguh.
Iya juga sih. Makanya, pantas saja, Mbah Marijan sangat berhati-hati mengomentari soal gunung yang dijagainya berpuluh-puluh tahun itu. Buatnya, menunggui Merapi sama dengan menunggui makhluk yang kadang-kadang marah jika diomongin yang jelek-jelek.
Mbah Marijan
|
SAYA menarik nafas agak pajang. Sisa tawa Mbah Marijan masih terdengar. Di antara diam, saya mengambil kesempatan bicara. Ini agak serius. Soal Merapi. Karena itu saya harus berhati-hati. Saya tahu, Mbah Marijan tidak akan pernah bisa dipancing untuk bicara Merapi dengan sembarangan.
“Sederek sedoyo, meniko sasmito, bilih Mbah Marijan gemujeng lakak-lakak, meniko pratondo Mbah Merapi mboten nopo-nopo. Leres to mbah?” Suasana mendadak hening. Mbah Marijan menandangi saya. Seketika, ada rasa takut. Barangkali, tidak seharusnya saya berkata begitu.
“Merapi juga tertawa. Itu biasa. Tidak usah ditakutkan. Seperti kita ini saja, Merapi juga butuh tertawa. Dan, itu ora nggowo memolo.” Kaget, saya mendengar Mbah Marijan berkata begitu. Semua juga ikut takjub. Tidak pernah ada yang berani mengajaknya berbicara soal Merapi, tapi hari itu, ia bicara dengan gamblang bahwa Merapi tidak apa-apa.
Mendengar kalimat Mbah Marijan, saya teringat ucapan siapapun, orang-orang yang berurusan dengan Merapi. Para relawan, orang-orang di sekitar lereng Merapi, atau tamu-tamu yang datang ke rumah Mbah Marijan. Mereka tahu, tidak boleh ngomong sembarangan soal Merapi.
“Jangan nyebut-nyebut Wedhus Gembel atau gunung njebluk. Itu pantangan keras. Bahkan Mbah Marijan sendiri tidak pernah menyebut nama Merapi. Kepada gunung itu, dia memanggilnya Mbah Buyut.” Seorang relawan mewanti-wanti saya, jauh sebelum saya memutuskan naik ke Merapi.
Seorang kawan memberi penjelasan, yang mencoba agak rasional-riligius mengapa tidak boleh menyebut Wedhus Gembel di Merapi. “Jika semua orang mengatakan Wedhus Gembel, lama-lama itu akan menjadi doa dan spirit. Akhirnya, Merapi benar-benar akan mengeluarkan Wedhus Gembel. Itu yang harus kita hindari,” katanya, sungguh-sungguh.
Iya juga sih. Makanya, pantas saja, Mbah Marijan sangat berhati-hati mengomentari soal gunung yang dijagainya berpuluh-puluh tahun itu. Buatnya, menunggui Merapi sama dengan menunggui makhluk yang kadang-kadang marah jika diomongin yang jelek-jelek.